Pemrosesan Plastik Foam Mikroseluler Yang Ramah Lingkungan

Seiring dengan berkembangnya jaman, perhatian masyarakat terhadap pola hidup sehat semakin meningkat. Hal ini mendorong masyarakat lebih selektif dalam hal pemilihan produk. Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat ini, maka diperlukan produk yang sehat baik ketika dalam pemrosesan, pengemasan, sampai bisa dikonsumsi. Untuk memenuhi syarat sehat dalam pengemasan diperlukan pengembangan bahan kemasan (packaging) yang aman bagi kesehatan, salah bsatunya adalah foam plastik mikroseluler. Pemrosesan foam plastik mikroseluler menggunakan blowing agent CO2 dan N2 yang selain aman dari segi kesehatan juga ramah lingkungan, karena bersifat inert.
Secara umum, ada dua bentuk foam plastik yaitu plastik seluler dan plastik mikroseluler. Cara pemrosesan kedua bentuk plastik ini adalah dengan foaming. Foaming dilakukan dengan cara mendispersikan bahan aditif sebagai blowing agent ke dalam material plastik dan dengan perlakuan pemanasan serta tekanan sehingga menghasilkan plastik berpori (foamed plastik). Hingga saat ini pemrosesan foam plastik seluler masih banyak menggunakan proses foaming konvensional, yang menggunakan bahan berbahaya seperti chlorofluorocarbon (CFC), hidrochlorofluorocarbon (HCFC) atau senyawa organik lain yang mudah terbakar (benzene, toluene, acetone dan lain-lain) sebagai blowing agent. Bahanbahan ini berdampak tidak baik terhadap lingkungan dan kesehatan karena merusak ozon dan dapat mengakibatkan kanker [10]. Berdasarkan keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan sesuai dengan Protokol Montreal dan Perjanjian Wina, Indonesia akan menghentikan penggunaan bahan-bahan tersebut di atas pada tahun 2010 [10]. Dengan pertimbangan di atas maka perlu dikembangkan proses foaming dengan menggunakan bahan blowing agent yang lebih aman terhadap lingkungan dan kesehatan.
Pengembangan lebih lanjut tentang pemrosesan plastik seluler konvensional adalah plastik mikroseluler. Selain aman bagi kesehatan, keunggulan lain plastik mikroseluler adalah struktur selnya yang lebih teratur I- 2 dibandingkan plastik seluler, sehingga plastik mikroseluler memiliki sifat mekanik, elektrik, dan thermal yang lebih baik dibanding plastik foam konvensional. Di samping itu, ukuran sel yang lebih kecil dan distribusi sel yang seragam menyebabkan plastik mikroseluler memiliki ketahanan dan kekuatan yang melebihi plastik foam konvensional maupun plastik padat.
Plastik mikroseluler menurut Park,dkk [12] adalah foam polimer yang memiliki densitas sel lebih dari 109 sel/cm3 dan ukuran sel kurang dari 10 mm. Sel plastik mikroseluler dibentuk melalui tahapan-tahapan yaitu, pembuatan larutan jenuh gas-polimer, pengubahan larutan ke kondisi tidak stabil secara termodinamik, dan pengontrolan struktur sel. Pemrosesan plastik mikroseluler dengan cara ini pertama kali diperkenalkan oleh Martini pada tahun 1981.
Colton dan Suh (1987) [9] melakukan penelitian dengan menggunakan bahan plastik berkristal yaitu polipropilen dengan menggunakan blowing agent CO2. Proses pembuatan foam dilakukan pada temperatur mendekati temperatur melting. Colton melaporkan 3 (tiga) hal dari hasil penelitiannya, yaitu : kelarutan gas yang rendah dalam daerah struktur kristal, perlunya melakukan foaming di dekat temperature leleh dan struktur kristal sebagai masalah dasar dalam foaming mikroseluler polimer semikristal.
Park,dkk [12] melakukan penelitian tentang efek kristalinitas dan morfologi terhadap struktur foam plastik polipropilen (PP). Mereka menyimpulkan bahwa adanya kristalinitas menyebabkan diffusivitas dan solubilitas gas turun. Sato,dkk [19] telah melakukan penelitian terhadap kelarutan blowing agent CO2 dan N2 dalam plastik polystryrene dan polipropilen. Hasilnya menunjukkan kelarutan blowing agent polipropilen lebih besar daripada polistiren. Hal ini disebabkan oleh struktur kristal polipropilen lebih teratur dan rapat, sehingga banyak gas yang mampu bertahan di dalamnya. Pada Polystyrene struktur rantainya amorf, sehingga gas mudah berdifusi keluar rantai.
Hendra dan Rika (2003) [8] dan Yeni (2004) [18] meneliti tentang pengaruh temperatur dan CO2 terlarut terhadap kristalinitas polipropilen (PP) pada pemrosesan plastik mikroseluler. Kenaikan derajat kristalinitas sebanding dengan I- 3 kenaikan temperatur dan mencapai maksimum pada 160 0C, kemudian mengalami penurunan pada temperatur di atas temperatur pelelehan yaitu 170 0C - 190 0C.
Pada tahun 2004, Ana dan Bambang [1] meneliti tentang perubahan kristalinitas karena nitrogen terlarut dan efeknya terhadap struktur foam pada pemrosesan plastik mikroseluler polipropilen (PP). Mereka menyimpulkan bahwa tanpa gas terlarut, kristalinitas polipropilen meningkat dengan naiknya temperatur sampai dengan temperatur lelehnya. Dengan jumlah gas nitrogen yang sama, naiknya temperatur (40 0C – 100 0C) ternyata menurunkan kristalinitas.
Penelitian ini kemudian dilanjutkan oleh Deddy dan Hary pada tahun 2004 [4] dimana diketahui bahwa pada temperatur penjenuhan 125 0C – 160 0C terjadi kenaikan kristalinitas dengan naiknya temperatur penjenuhan dan pengaruh gas terlarut tidak signifikan terhadap perubahan kristalinitas. Kedua hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kristalinitas minimum terjadi pada temperatur penjenuhan 125 oC, sehingga dapat ditarik beberapa hal, yaitu : properti fisik polimer (densitas) menurun, begitu pula properti fisik lain seperti viskositas dan tegangan permukaan diperkirakan turun. Akibatnya gas lebih mudah berdifusi ke dalam larutan polimer. Dengan demikian pada kondisi tersebut potensial dilakukan foaming. Oleh karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai karakteristik foaming di daerah titik balik tersebut.

Untuk mendownload Skripsi Pendidikan Kimia dengan judul "Penentuan Kadar Soda yang Hilang di Tahap Pencucian IV pada Proses Pembuatan Pulp" secara lengkap klik disini atau klik gambar download dibawa ini kemudian klik SKIP AD atau LEWATI.

Update Skripsi lewat email. Masukkan Email anda dan klik subscribe:

Delivered by FeedBurner

Add to Google Reader or Homepage Subscribe in NewsGator Online Subscribe in Bloglines